Kamis, 23 Mei 2019

Puisi periode 1960-1980

Puisi Periode 1960-1980

Tahun 1960-an adalah masa yang sangat produktif bagi perpuisian Indonesia. Bahkan pernah berjaya pada tahun 1963-1965 penyair-penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan Partai Komunis Indonesia/PKI. Puisi periode angkatan ini lazim disebut sebagai puisi Angkatan 66 (Waluyo, 2002: 107). Menurut H.B. Jassin, para pelopor angkatan ini adalah para penyair demonstran seperti Taufiq Ismail dengan salah satu kumpulan puisinya Tirani (19166), Goenawan Mohamad dengan salah satu kumpulan puisinya Parikesit (1972). Selain itu, penyair lain yang tergolong angkatan ini adalah Sapardi Djoko Damono dengan salah satu kumpulan puisinya Ayat-ayat Api (2000), Hartoyo Andangjaya dengan salah satu kumpulan puisinya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (1981), Abdul Hadi W.M. dengan salah satu kumpulan puisinya Riwayat (1967), Yudistira Adinugraha Massardi dengan salah satu kumpulan puisinya Omong Kosong (1978), Apip Mustopa dengan salah satu kumpulan puisinya dimuat di antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru (1977), Piek Ardiyanto Supriyadi dengan salah satu kumpulan puisinya Biarkan Angin Itu (1996), Linus Suryadi Ag dengan salah satu kumpulan puisinya Langit Kelabu (1976), dan D. Zawawi Imron dengan salah satu kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata (1990).

Ciri-ciri puisi Angkatan 66 adalah:

Puisi-puisi bersifat filosofis

Adanya rintisan baru pada puisi, yaitu puisi mantra dan konkret yang dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri

Bersifat naturalis, realis, dan eksistensialis.

Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:

BENTENG

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung 

Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran 

Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam. 

1966

Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali bagaimana Taufiq Ismail mendeskripsikan realitas yang ia rasakan pada saat ia membuat puisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar